Kamis, 21 Juni 2007

RIWAYAT SHAKYAMUNI BUDDHA

RIWAYAT SHAKYAMUNI BUDDHA
1.1. Kelahiran Bodhisattva

Di Jambudvipa (sekarang India), dinegara Shakya di India Utara bernama kerajaan Kapilavastu, terletak di utara sungai Rapti (sungai rohini), di daerah dekat pegunungan Hilamaya, diperintah oleh seorang Raja bernama Suddhodana dengan permaisurinya Ratu Maya Dewi (Dewi Mahamaya). Setelah duapuluh tahun perkawinan, mereka belum juga dikaruniai seorang Putra.

Pada suatu malam, Ratu Maya Dewi bermimpi aneh sekali. Dalam mimpi itu, Ratu Maya Dewi melihat seekor gajah putih turun dari langit memiliki enam gading dan sekuntum bunga teratai di mulutnya memasuki rahim Ratu Maya Dewi melalui tubuhnya sebelah kanan. Sejak mimpi itu Ratu Maya mengandung. Dia mengandung seorang bodhisattva dalam kandungannya selama sepuluh bulan.

Selama ia mengandung bodhisattva banyak kejadian ajaib terjadi. Misalnya, di mana saja ia pergi di Kapilavastu didampingi suaminya, Raja Suddhodana, Singa duduk dengan jinaknya di depan gerbang-gerbang, gajah-gajah menghormati raja, burung-burung diangkasa sangat bersuka cita mengiringi mereka. Ratu Maya dewi mendadak dapat mengobati orang sakit, banyak sekali orang sakit yang dapat diobati hingga sembuh. Dia sangat dermawan. Para dewa tidak menampakkan diri mendampingi permaisuri kemana dia pergi. Untuk tidak mengecewakan para dewa, Sang Bodhisattva membuat supaya Ratu Maya Dewi terlihat bersamaan di semua surga. Bila waktu malam, dia, memasuki ruang kamar tidurnya, tiga kamarnya mendapat pantulan cahaya dari tubuh permaisuri secara merata. Dan masih banyak lagi kejadian yang menakjubkan semua perbuatannya penuh welas asih.

Ketika waktunya telah tiba untuk melahirkan, Ratu Maya pergi ke Taman Lumbini dengan para dayangnya. Ratu juga meminta suaminya, Raja Suddhodana, ikut. Sudah tentu dipenuhi dengan segala senang hati. Juga para dewa yang tidak menampakkan diri ikut mendampinginya. Di saat bulan purnama sidhi (menurut aliran Utara atau Mahayana, beliau lahir tanggal 8 bulan 4, lunar tahun 566 S.M.; menurut aliran Selatan atau Hinayana, tanggal 6 May, tahun 623 S.M.), di Taman Lumbini ini (dekat perbatasan India-Nepal), Ratu Maya melahirkan seorang bodhisattva tanpa kesulitan dan para dayang yang mendampingi Ratu, menyaksikan dengan penuh kesenangan. Begitu pula Raja Suddhodana dan para dewa dan dewi yang mendampingi ratu.

Saat ia dilahirkan, bumi menjadi terang benderang, seberkas sinar sangat terang mengelilingi bodhisattva yang baru lahir itu. Sesaat ia dilahirkan, bodhisattva berjalan tujuh langkah dengan jari telunjuk tangan kanan menunjuk ke langit, dan jari telunjuk tangan kiri menunjuk ke bumi, yang artinya Akulah teragung, pemimpin alam semesta, guru para dewa dan manusia. Para dewa yang mendampingi menjatuhkan bunga dan air suci untuk memandikannya. Pada saat ia akan menapakkan kakinya ke bumi, timbullah seketika itu tujuh kuntum bunga padma yang besar dibawah setiap langkahnya. Setiap ia melangkah ia menghadap ke sepuluh penjuru. Juga bersamaan waktu lahirnya, tumbuhlah pohon Bodhi.
Seisi alam menyambutnya dengan suka cita karena telah lahir seorang bodhisattva yang pada nantinya dia akan menjadi pemimpin alam semesta, gurunya para dewa dan manusia, mencapai Samyak Sam Buddha untuk mengakhiri penderitaan manusia di alam samsara ini.


1.2. Kunjungan Pertapa Asita

Pertapa Asita yang agung yang disebut juga Kala Devala berdiam di sebuah pegunungan yang tidak begitu jauh dari istana. Pertapa Asita melihat sinar yang sekonyong-konyong memancar terang-benderang di kawasan istana. Cahaya terang ini dinilai oleh pertapa Asita sebagai suatu pertanda baik, maka beliau bergegas menuruni gunung dan pergi menuju istana Raja Suddhodana.

Kunjungan pertapa Asita adalah untuk menyaksikan tanda-tanda pada tubuh pangeran, memperhatikan dengan seksama dan menemukan bahwa pangeran memiliki kewajiban besar (karena memiliki tanda-tanda tubuh dari orang yang yang Agung yang disebut Maha Purisa).

Kelahiran adalah sebagai suatu keajaiban sebab anggota-anggota tubuhnya merupakan titisan para Dewa Aurva, Prithu, Mandhatari, dan Kakshivat, para pahlawan dari masa lampau yang menyelinap masuk melalui paha, tangan, kepala, dan ketiak. Dia lahir tanpa melukai dan menyakiti ibunya. Jadi dia keluar dari rahim itu secara sempurna sebagai seorang Buddha.

Pertapa Asita tertawa setelah melihat pangeran. Tertawa karena pada suatu hari nanti pangeran akan mencapai Kesempurnaan (Buddha), sempurna dalam kebijaksanaan maupun Kewajiban, menjadi guru para dewa dan manusia. Kemudian dia menangis. Menangis karena usianya yang telah lanjut dan tidak mempunyai kesempatan lagi melihat dan mendengarkan pada saat pangeran mencapai Kesempurnaan (Buddha) dan menjadi Juru Selamat dunia dengan mengajarkan Buddha Dharma. Kemudian dia berlutut dan menghormat kepada pangeran dan tanpa disadari diikuti oleh Raja Suddhodana.

Lima hari setelah pangeran lahir, Raja Suddhodana mengumpulkan para pertapa di ruang istana untuk memberikan nama kepada pangeran. Pangeran diberi nama Sidharta Gautama. Sidharta berarti semua cita-citanya tercapai, dan Gautama adalah nama keluarganya.


1.3. Masa Kecil, Masa Remaja, dan Pernikahan Pangeran

Ratu Maya Dewi tidak dapat menahan luapan perasaan kegembiraan tatkala dia melihat seorang putra mahkotanya, yang dipersamakan sebagai seorang ahli peramal yang paling bijaksana. Dan Ratu Maya begitu suci, hingga ia tidak dapat melanjutkan untuk hidup sebagai seorang permaisuri biasa, kemudian ia harus mengorbankan dirinya hidup menderita karena penolakan putranya untuk menjadi raja di kemudian hari. Ataukah dia rela pergi ke surga, tinggal di Surga Tusita pada hari ke tujuh setelah pangeran dilahirkan?

Pada suatu hari, raja dan pangeran kecil disertai para pengasuh dan pembesar istana berjalan pergi kesawah untuk merayakan perayaan membajak sawah. Pangeran diletakkan di bawah sebuah pohon besar yang rimbun. Kemudian para pengasuh pergi untuk melihat jalannya upacara. Sewaktu ditinggalkan seorang diri, pangeran kecil itu lalu duduk ber-meditasi dalam keretanya, saat itu umurnya baru kira-kira lima tahun. Ayahnya yang melihat kejadian tersebut menjadi sangat gembira dan memberi hormat kepada putranya sambil berkata, “Putraku yang tercinta, inilah hormatku yang kedua.”

Sebagai pangeran dari sebuah kerajaan, beliau sebetulnya hidup sangat bahagia, dia lebih pintar dari gurunya yang bernama Visvamitra ketika ia berumur tujuh tahun, dan telah menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Dia adalah anak yang terpandai diantara teman-teman sekolahnya, dan sangat cepat menguasai setiap pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Dikelas dia selalu duduk paling depan dan penuh perhatian, mengikuti setiap pelajaran yang diberikan gurunya.

Pada umur 12 tahun, Pangeran Sidharta telah menguasai berbagai ilmu pengetahuan, ilmu taktik perang, sejarah dan Pancavidya, yaitu : sabda (bahasa dan sastra); Silpakarmasthana (ilmu dan matematika); Cikitsa (ramuan obat-obatan); Hatri (logika); Adhyatma (filsafat agama).
Dia juga menguasai Catur Veda: Rgveda (lagu-lagu pujian keagamaan); Yajurveda (pujaan untuk upacara sembahyang); Atharvaveda (mantra).

Pangeran Sidharta disamping pandai, juga seorang anak yang sopan dan baik budi pekerti, dan sayang pada binatang terutama binatang yang lemah.

Dia sangat pandai menunggang kuda dan gemar berburu. Bila kuda yang ditungganginya telah letih, dia turun dari kudanya dan membiarkannya untuk beristirahat dan mengusap-usap dengan penuh kasih sayang. Dia pergi berburu bukan untuk membunuh binatang tapi mengajak binatang hutan untuk bermain dan berkejar-kejaran.

Suatu hari, Pangeran Sidharta melihat Devadatta dan teman-temannya berburu burung dengan panah. Devadatta memanah seekor burung yang sedang berdiri di ranting pohon. Burung itu terkena panah Devadatta dan jatuh ke bawah. Pangeran Sidharta cepat pergi menghampiri burung itu dan segera mengobatinya. Devadatta meminta kembali burung itu dari Sidharta karena ia merasa bahwa ia yang memanah burung itu dan harus menjadi miliknya. Tapi Pangeran Sidharta mengatakan bahwa burung yang terpanah itu adalah miliknya. Terjadilah pertengkaran diantara mereka untuk memiliki burung itu.

Akhirnya hal ini dibawa kepada seorang pejabat Dewan Penasehat Kerajaan untuk dimintai pendapatnya. Pejabat Dewan Kerajaan menjelaskan kepada mereka berdua bahwa burung yang terkena panah itu adalah milik orang yang telah mengobati dan menyelamatkan hidupnya. Kemudian Pangeran Sidharta melepaskan burung itu ke alam bebas.

Adalah suatu tradisi dalam lingkungan kerajaan di India dimasa lampau di mana usia muda sudah dijodohkan dan dinikahkan. Ketika pangeran mencapai usia 16 tahun, ayahnya menikahkan dia dengan sepupunya, Putri Yasodhara yang sangat cantik juga berusia 16 tahun. Ini sebenarnya merupakan janjinya di masa lampau kepada Sidharta untuk tetap mendampingi dan melayani dengan setia.

Putri Yasodhara adalah kakak perempuan dari Devadatta. Ibu mereka bernama Amita adalah adik perempuan dari Raja Suddhodana yang menikah dengan Raja Suprabuddha.

Raja Suddhodana juga mempunyai tiga adik laki-laki, masing-masing bernama Suklodana, Amrtodana, dan Drandana. Suklodana mempunyai seorang putra bernama Ananda. Amrtodana mempunyai dua putra bernama Mahananma dan Anuruddha. Dranana juga mempunyai dua putra, masing-masing bernama Vibhasa dan Bhadrika.
Setelah pernikahan Pangeran Sidharta dengan Putri Yasodhara, mereka hidup amat bahagia, karena mereka cocok satu sama lain. Pangeran hidupnya sangat senang tapi hanya menikmati kesenangan hidup duniawi dalam istananya. Namun demikian pangeran suka pergi menyendiri untuk merenung di tempat yang sunyi dan tenang. Beliau tidak menderita, hanya mempunyai perasaan belas kasihan yang mendalam terhadap semua makhluk.

Setelah beberapa kali berkunjung ke ibukota Kapilavastu, beliau melihat empat pemandangan yang membuat dia terus berpikir, yakni : melihat orang tua, orang sakit, orang mati, dan seorang pertapa mulia. Beliau sangat tergugah hatinya oleh kejadian-kejadian tersebut. Beliau kembali ke istana dan mendapat kabar bahagia bahwa seorang putra telah lahir. Namun beliau tidak bahagia, karena menganggap bahwa kelahiran putra anak pertamanya hanya sebagai belenggu. Maka kakeknya memberikan nama pada cucunya Rahula, artinya belenggu.


1.4. Kesadaran

Empat peristiwa penting yang beliau lihat diluar istana itu, yakni: tua, sakit, meninggal dan seorang pertapa mulia, menyadarkan beliau bahwa semua itu harus dialami oleh semua makhluk, yakni setiap orang akan menjadi tua, setiap orang dapat sakit, dan setiap orang tidak terelakkan pasti suatu hari akan meninggal. Semua kejadian ini sungguh suatu penderitaan.

Peristiwa yang ketiga beliau lihat adalah orang meninggal, sesosok mayat. Maka beliau berpikir bahwa baik buruk seorang lelaki maupun perempuan, yang pandai maupun yang cantik, yang gagah maupun yang lemah, semuanya pada suatu hari pasti akan meninggal dan tubuhnya akan menjadi mayat. Mayat adalah suatu sosok tubuh yang tidak bagus dipandang.

Sejak saat itu, beliau mengundurkan diri dari sentuhan para perempuan di istana, dan sebagai jawabannya atas bujuk rayuan Undayin, penasehat raja, dia menjelaskan sikap barunya dengan kata-kata sebagai berikut :

“bukanlah saya memandang rendah hakekat dari rasa, dan saya mengetahui baik bahwa mereka itu membuat apa yang dinamakan dunia. Tapi bila saya mempertimbangkan ketidakkekalan dari dunia ini, saya menemukan tiada kebahagiaan di dunia ini. Usia tua, sakit, dan kematian tidak luput dari kehidupan manusia. Jika kecantikan dari wanita adalah kekal abadi, pikiran saya tentu sudah menuruti kata hati dan dalam hawa nafsu. Kenyataannya sejak kecantikan perempuan tidak melekat lagi, maka tubuhnya menua karena usia melunturkan kecantikannya. Menyenangi perempuan merupakan khayalan. Semua kenyataan ini sungguh menakutkan. Bagaimana dapat seorang pintar tidak memperdulikan akan bencana itu? Kapan dia mengetahui penghancuran yang akan datang?”


1.5. Meninggalkan Istana (Duniawi)

Setelah mantap pada pendiriannya maka beliau pergi mencari obat agar orang tidak menjadi tua, tidak menjadi sakit, dan tidak meninggal, untuk dipersembahkan kepada setiap orang. Pada saat itu beliau berusia 29 tahun, dan dengan seijin Raja Suddhodana beliau meninggalkan keduniawian. Pada malam sebelum kepergiannya, beliau sekali lagi memandang kepada istrinya dan anaknya. Diam-diam tanpa memberitahukan kepada mereka, beliau meninggalkan istana dengan kudanya yang bernama Kanthaka dan ditemani oleh seorang pengawal, anak menteri, bernama Candaka.

Selama dalam perjalanan ke desa dia menikmati pemandangan yang indah, tapi melihat para petani bercucuran keringat kelelahan membajak sawah, tanah dipacul dan dibuang kesamping, dan kelihatan cacing dan binatang melata lainnya terputus badannya oleh ayunan pacul. Semua ini membuat dia berpikir, sungguh semua makhluk hidup menderita.

Karena kesucian yang tinggi dalam benaknya terbentuklah sikap akan kepribadian yang luhur, dia melangkah turun dari kudanya dan berjalan dengan hati–hati dan perlahan-lahan diatas tanah, melewatinya dengan gundah-gulana. Pikirannya penuh dengan hal-hal kesengsaraan dan penderitaan makhluk hidup.

Pikirannya perlu ketenangan. Dia memisahkan diri dari temannya yang berjalan dibelakangnya dan pergi mencari suatu tempat sunyi dekat sebuah pohon besar yang rimbun. Daun-daun yang menyejukkan dari pohon itu dalam keadaan tidak bergerak, dan tanah dibawah itu nyaman. Disana ia duduk bersila, memikirkan mengenai asal mula dan matinya dari semua makhluk hidup. Pikirannya terus menerawang mengenai hal-hal tersebut. Pikirannya penuh konsentrasi dan menjadi tenang. Ketika ia memenangkan kerisauan, dia tiba-tiba bebas dari semua keinginan akan hakekat rasa dan kenafsuan duniawi. Dia telah mencapai tingkat pertama mengenai ketenangan luar biasa, yaitu tenang di tengah-tengah pikiran yang beraneka ragam. Dalam tempatnya itu, dia telah berada pada tingkat kesucian pikiran yang luar biasa. Sekarang dia tidak gembira maupun duka, tidak mengenal tawa atau tangis.


1.6. Bertemu Pertapa Secara Tiba-tiba

Pengertian yang sifatnya murni dan bersih ini tumbuh lebih lanjut dalam jiwanya yang luhur. Dia melihat seorang pria muncul kehadapannya yang tidak kelihatan oleh orang lain, yang muncul dalam samaran sebagai seorang peminta-minta saleh.

Pangeran lalu bertanya, “Katakanlah kepada saya siapa anda?”

Jawabannya adalah : “Oh bagaikan sapi jantan di antara orang-orang, saya adalah pertapa, yang ditakuti oleh kelahiran dan kematian, telah mengambil suatu kehidupan berkelana untuk mencapai keselamatan. Karena seluruh akhirnya tidak kekal. Keselamatan dari dunia ini adalah apa yang saya inginkan dan saya mencari kebahagiaan yang paling sempurna, di mana pemusnahan tidak dikenal. Sanak keluarga dan orang asing sama saja bagi saya, perasaan rakus serta kebencian juga telah sirna.

Pertapa ini bernama Arada Kalama dan Pangeran Sidharta Gautama langsung berguru kepadanya. Sebagai gurunya yang pertama dalam hal untuk mencari pembebasan penderitaan bagi dunia. Chandaka yang mendampinginya di suruh pulang dengan kudanya, Kanthaka.

“Temanku, jangan bersedih, “ ujar pangeran, “ Bawalah kuda ini serta pesan saya kepada raja dan rakyat di Kapilavastu yang selalu memperhatikan saya. Hentikan rasa kasih sayang kepadaku dan dengarkanlah ketetapan hatiku yang tak tergoyahkan. Apa aku akan meleyapkan usia tua dan kematian, dan kemudian engkau akan segera melihat aku lagi. Atau aku akan kehilangan semua, sebab aku gagal dan tidak dapat mencapai tujuan.”

Pangeran Sidharta Gautama telah menjadi pertapa kelana. Beliau juga telah menjadi Bodhisattva. Beliau tidak puas mengikuti gurunya yang pertama ini, karena ia hanya dapat belajar sampai pada tingkatan tertentu saja dalam meditasi. Lalu beliau mencari lagi orang suci lain yang bernama Undraka Ramaputra.

Dengan guru yang kedua ini beliau juga tidak puas, karena hanya sampai pada tingkat meditasi yang lebih tinggi saja. Yang beliau ingin cari adalah Kebahagiaan sejati, yaitu akhir dari segala penderitaan.. Akhirnya alkisah beliau memutuskan untuk berdaya upaya sendiri.


1.7. Latihan Mengenai Kekerasan

Sejak waktu itu, pangeran yang sekarang telah menjadi seorang Bodhisattva, dengan rajin belajar pelbagai latihan di antara para pertapa dan para yogi. Dia berkelana mencari tempat pengasingan yang sunyi, untuk tinggal pada tepi sungai Nainranjana. Lima orang pertapa telah tinggal pada tepi sungai itu, sebelum ia menuju kesana.

Kesucian dari lubuk hati muncul dari keberanian dirinya sendiri. Mereka menempuh kehidupan dengan disiplin keras sekali, dalam ketaatan terhadap janji agama masing-masing mengenai lima perasaan.

Ketika para pertapa itu melihat dia disana , mereka menunggu dia untuk memberikan ajaran perihal pembebasan, menunggu seorang yang agung yang hakekat kebaikan dari kehidupan lampaunya telah memberikan berkah dan karunia.

Mereka menyapa dengan hormat, membungkukkan badan mereka di hadapan bodhisattva, mengikuti petunjuknya, dan menempatkan diri mereka sendiri sebagai murid dibawah pengawasannya. Bagaimanapun juga, dia mulai pada cara tapa yang keras, dan khususnya mengenai penderitaan akibat kelaparan sebagai jalan mengakhiri kelahiran dan kematian. Karena keinginannya yang sungguh-sungguh badannya menjadi kurus selama enam tahun, dengan melaksanakan puasa secara ketat, yang sangat sukar bagi orang biasa untuk bertahan. Pada jam makan, dia harus puasa bila hanya makan sebutir, yang maksudnya dia telah memenangkan pantai Samsara. Sehingga tubuhnya menjadi kurus kering, hanya tinggal tulang-belulang terbungkus kulit.

Pda suatu hari, dia sedang duduk dibawah pohon bodhi terdengar suara lagu yang syairnya kira-kira mempunyai arti sebagai berikut:

“bila senar gitar ini dikencangkan,
Suaranya akan semakin tinggi.
Kalau terlalu kencang,
Putuslah senar gitar itu, dan lenyaplah suara gitar itu.
Bila senar gitar ini dikendorkan,
Suaranya akan semakin rendah.
Kalau terlalu dikendorkan,
Maka lenyaplah suara gitar itu.
Karena itu wahai manusia,
Mengapa belum sadar-sadar pula,
Dalam segala hal janganlah keterlaluan.”

Akhirnya Pertapa Gautama menghentikan tapanya yang sangat ekstrim yang telah dijalani selama enam tahun di hutan Uruwela.


1.8. Pemberian Nandabala

Kemudian pertapa Gautama pergi ke sungai untuk mandi. Sesudahnya mandi, dia hampir tidak kuat bangun ke permukaan tepi sungai disebabkan badannya sangat lemah. Dengan bersusah payah akhirnya sampai juga didarat dan berjalan tidak terlalu jauh, dia duduk dibawah pohon Asetta. Seorang wanita yang kebetulan lewat, melihat tubuh pertapa Gautama begitu lemah. Wanita itu bernama Nandabala, memberikan dia semangkuk susu yang dimasak dengan nasi. Setelah makan, badannya terasa hangat dan segar.

Kelima pertapa yang telah bersama-sama dia selama enam tahun, menyaksikan kejadian ini lalu meninggalkan dia. Mereka sangat kecewa hatinya dan menganggap pertapa Gautama telah gagal, dan pergi meninggalkan dia seorang diri.

Pertapa Gautama berpikir bahwa cara yang selama ini dilakukan adalah salah. Lagipula, dia selama ini belum dan bahkan tidak dapat menemukan apa yang dicarinya. Dia berkesimpulan bahwa hanyalah dengan badannya yang sehat dan pikiran yang jernih, barulah dapat meneruskan niatnya untuk mencapai penerangan sempurna. Seterusnya, pertapa gautama makan kembali sekedarnya.

Dengan kebulatan tekad dan keyakinan diri sendiri, akhirnya pertapa Gautama memutuskan untuk bermeditasi. Dia mencari tempat yang sunyi, tenang, Di bawah pohon bodhi (diceritakan bahwa pohon bodhi ini tumbuh bersamaan waktu ia lahir). Selanjutnya dia duduk bermeditasi dengan sikap duduk Padmasana dan berjanji kepada dirinya sendiri. Dia tidak akan bergeming sedikit pun juga, dan berhenti bermeditasi ditempat ini sebelum tujuannya memperoleh penerangan (Nirvana) tercapai.


1.9. Mengalahkan Mara

Pertapa Gautama adalah keturunan dari para pertapa yang setia dan memiliki kebijaksanaan tinggi. Dia telah memutuskan untuk mengalahkan kemelekatan dan memenangkan pembebasan. Dalam meditasinya datanglah Mara untuk mengoda. Mara adalah musuh utama Bodhisattva, namun dia dapat menaklukkan godaan Mara.


1.10. Penerangan

Setelah mengalahkan Mara, dengan kebulatan tekad dan ketenangannya, Bodhisattva Gautama berhasil meneruskan meditasinya. Akhirnya Bodhisattva Gautama secara berturut-turut telah mengalami :

Ketika Bodhisattva Gautama mampu mengalahkan para pengikut Mara, beliau telah mengalami yang pertama kali dari empat tingkatan dhyana.

Pengamatan pertama malam itu:
Dengan kekuatan mata batinnya yang luar biasa (divyacaksus), Dia menghancurkan kegelapan (tamas) dan menghasilkan terang (alokam).

Dalam pengamatan menengah, Dia mengingat kehidupan masa lampaunya dan memperoleh pengetahuan seperti itu (vidya).

Dan pengamatan ketiga, ketika fajar menyingsing, Dia menyadari dan memperoleh pengetahuan mengenai penghancuran dari asravas.

Selanjutnya, dia merenungkan sampai tiga kali tentang 12 jenis pratitya samutpada. Pertama-tama, dia mulai dengan usia tua dan kematian, dan berpikir, “Apa yang terjadi mengenai jaramarana? Apakah penyebabnya?” Dia mengulangi pertayaan itu sampai pada avidya.

Yang kedua kali, dia mulai dengan avidya, dan berpikir demikian, Samakara timbul dari avidya sebagai penyebabnya, dan seterusnya, sampai pada hubungan mata rantai pratitya-samutpada yang terakhir.

Yang ketiga kali, dia mulai dengan jara-marana dan berpikir demikian, “Apa yang tidak bereksistensi, jara-marana tidak akan terjadi? Apa yang menyebabkan penghentian jara-marana? Dia meneruskan dengan cara ini dan berakhir pada avidya. Kemudian Dia menyadari bahwa Pengetahuan, Penglihatan ke dalam, Kebijaksanaan, dan Penerangan telah timbul dalam dirinya.

Dia telah mengetahui fakta dan hakekat dari penderitaan itu, mengenai asravas, dan perihal 12 faktor tentang sebab-musabab yang saling bergantungan. Dia mengetahui pula tentang asal mula dan sebab penghentian semua itu, dan juga jalan menuju ke Penghentian itu. Jadi Dia memperoleh Pengetahuan kelipatan tiga dan memperoleh Penerangan sempurna yang tertinggi. Dia mengetahui, mengerti, menyaksikan, dan merealisasikan semua yang di ketahui, dimengerti, disaksikan, dan direalisasikan.

Dia kemudian bangun dan melompat ke angkasa dengan ketinggian tujuh kali pohon bodhi. Dia berbuat demikian untuk meyakinkan para deva bahwa Dia telah memperoleh Penerangan. Dia mengucapkan sajak berikut ini :

“Jalan itu telah diputuskan; debu itu telah dihilangkan;
Asravas telah dikeringkan, mereka tidak akan mengalir lagi.
Bila jalan itu telah diputuskan, dia tidak kembali lagi,
Ini dinamakan akhir dari Penderitaan.”

Semua Buddha harus menunjukkan tanda-tanda kemampuan seperti itu. Para dewa menaburi aneka bunga kepada-Nya dan mengakui ke-Buddha-an-Nya. Penerangan dan kebahagiaan menyebar ke seluruh alam semesta, dan sampai menggoncangkan enam alam. Semua Buddha memuji Buddha yang baru itu dan menghadiahkan Dia payung permata yang mengeluarkan sinar penerangan. Semua Bodhisattva dan deva gembira dan memuji Buddha itu. (Penerangan ini diterjemahkan dari Penerangan yang di edit oleh P.Ghosa, Calcutta, 1902-13, Bibliotheca Indita, Catasahasrika Prajna Paramita, Bab I-XII)

Menurut versi Hinayana, beliau memperoleh Penerangan atau Pencerahan Agung dan menjadi Buddha (Samyak-Sam-Buddha) dibawah pohon Bodhi di Bodh-Gaya, pada saat bulan Purnama Sidhi pada hari Waisak, pada usia 35 tahun. Sedangkan menurut versi Mahayana, Beliau mencapai Penerangan atau menjadi Buddha Shakyamuni (Samyak-Sam-Buddha) pada tanggal 8 bulan 12 (lunar).

Setelah Beliau mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, dari tubuh suci Beliau memancarkan enam sinar yang disebut Buddharasmi atau Sinar Buddha.
Sejak saat itu dan selama hidup-Nya, Beliau dapat memancarkan enam sinar suci itu bilamana dikehendaki-Nya. Kadang-kadang Beliau mengirim sinar suci-Nya dengan warna-warna itu untuk mengubah tabiat para manusia.

Enam warna sinar-Nya adalah :

1. Nila = biru.
Berarti bakti atau pengabdian. Dia telah menjadi Buddha mempunyai sifat bakti dan pengabdian yang tiada taranya kepada manusia yang menderita.

2. Pita = kuning.
Berarti kebijaksanaan, mahatahu, seorang Buddha adalah berpengetahuan luas dan mahatahu (Sarvakarajnata).

3. Rohita = merah.
Berarti kasih sayang dan welas asih. Seorang Buddha mempunyai rasa maha kasih sayang dan maha welas asih yang tidak terbatas terhadap semua makhluk. Pada seorang Buddha sudah tidak ada lagi rasa benci, sentimen, kejam, iri hati, dan dengki, yang ada pada diri-Nya hanya maha welas asih kasihan tanpa perbedaan dan perasaan bahagia bila mengetahui atau melihat orang lain dapat hidup senang dan bahagia.

4. Avadata = putih
Berarti suci. Seorang Buddha telah suci batin-Nya dan pikiran-Nya tidak dapat dikotori lagi oleh segala macam kekotoran dunia. Maka dari itu seorang Buddha atau Bodhisattva dilukiskan sebagai mutiara yang berada di atas bunga teratai (mani-padma).
Bunga teratai meskipun tumbuh dirawa yang penuh lumpur, diatas bunga teratai itulah seorang Buddha atau Bodhisattva duduk atau berdiri laksana mutiara yang putih berkilauan, yang bebas dari segala kekotoran dan tidak dapat kena kotoran karena dialasi bunga teratai.

5. Manjistha = orange, jingga.
Berarti giat, Seorang Buddha mempunyai semangat yang luar biasa, giat menyebar Dharma kepada dewa dan manusia serta melakukan segala perbuatan baik yang berfaedah bagi orang banyak dan makhluk-makhluk lainnya.

6. Prabhasvara = bersinar-sinar, sangat terang, cemerlang merupakan warna campuran dari kelima warna tersebut diatas; berarti campuran dari kelima sifat tersebut diatas.

Selama tujuh hari Beliau meneruskan meditasinya di tempat yang sama. Tubuh-Nya tidak memberikan kesusahan pada-Nya, matanya tidak pernah tertutup, dan pikiran-Nya terus bekerja. Dia merenung, “Di tempat inilah saya menemukan Pembebasan.” Dia mengetahui kemauan-Nya akhirnya terpenuhi.

Ketika itu Indra dan Brahma sebagai dua kepala Deva yang tinggal di langit, telah mengerti kemauan Tathagata Sugata (Shakyamuni) untuk memprokamirkan jalan itu untuk kedamaian. Tubuh mereka yang bercahaya terang mendatangi Dia, dengan hormat dan ramah berkata kepada-Nya,

“Harap jangan menyalahkan semua makhluk sebagai tidak berguna, disebabkan keinginan harta benda seperti itu didunia ini! Jadi dengan tidak membeda-bedakan mereka adalah amal Wiyata. Sementara sebagian dari mereka masih memiliki hawa nafsu, sebagian lainnya hanya memiliki sedikit hawa nafsu. Sekarang Engkau, oh Yang Maha Bijaksana,telah ber-Penerangan dan menyeberangi lautan Samsara ini, tolonglah menyelamatkan juga makhluk lain yang telah tenggelam sebegitu jauh dalam penderitaan.”

Kedua deva itu bersabda demikian, karena mereka tahu bahwa dengan mata batin yang dimiliki seorang Buddha, Beliau telah melihat dalam dunia itu banyak makhluk berpandangan rendah dan hidup secara keliru, jiwanya tertutup tebal oleh kekotoran hawa nafsu. Dari sisi lain, dia menyadari banyak kepelikan dari Dharma-Nya tentang Pembebasan. Dia cenderung untuk tidak mengajarkan Dharma, namun ketika Dia cenderung untuk tidak mengajarkan Dharma, namun ketika Dia mempertimbangkan arti dan janji-Nya untuk memberikan Penerangan kepada semua makhluk, yang telah dia ucapkan pada masa lampau, dia mempertimbangkan kembali untuk memproklamirkan Jalan itu untuk Kedamaian.

Sesudah membuat permintaan ini kepada Yang Maha Bijaksana kedua deva itu memohon diri dan kembali ke surga tempat mereka. Yang Maha Bijaksana mempertimbangkan kembali dengan hati-hati atas kata-kata mereka. Akhirnya keputusan-Nya, Dia menyetujui untuk membebaskan dunia ini dari Penderitaan.Dia menyetujui untuk membebaskan dunia ini dari Penderitaan.

Yang Maha Bijaksana teringat akan Arada dan Undraka Ramaputra adalah dua orang yang terbaik dan cocok untuk memahami Dharma-Nya. Namun dengan mata batin-Nya, Dia melihat kedua pertapa itu telah meninggal dan berdiam diantara para deva dilangit. Pikiran-Nya kemudian ditujukan kepada lima orang pertapa yang dahulu pernah bersama-sama Beliau menjalani tapa yang sangat ekstrim.

Sebelum Beliau pergi sendiri ke kota Kashi, sekali lagi Beliau memandang ke pohon Bodhi itu sebagai tanda ucapan terima kasih karena di tempat inilah Beliau mencapai Penerangan.

source: http://owalah.wordpress.com/2007/01/...uddha-gautama/

Tidak ada komentar: