Kamis, 21 Juni 2007

RIWAYAT SHAKYAMUNI BUDDHA bagian 2

1.11. Bertemu Dengan Seorang Pertapa.

Buddha Gautama telah menyelesaikan tugas utamanya, dan sekarang Dia dengan tenang dan penuh keagungan pergi berkelana sendirian. Tapi sesungguhnya para deva, Bodhisattva, dan Buddha selalu mendampingi Dia.

Ada seorang pertapa yang sungguh-sungguh berniat mempelajari Dharma. Ketika dia melihat Buddha Gautama di jalan, karena keheranan dia bersikap anjali dan berkata kepada-Nya,

“Perasaan orang lain tiada henti-hentinya bagaikan kuda, tapi perasaan-Mu telah dijinakkan. Makhluk lain memiliki hawa nafsu, tapi hawa nafsu-Mu telah berhenti. Tubuh-Mu bersinar bagaikan bulan di langit pada malam hari. Anda muncul dengan Kebijaksanaan baru. Paras-Mu mencerminkan intelektual. Anda telah menguasai perasaan-Mu dan memiliki mata bagaikan seekor sapi jantan yang sangat kuat. Tiada diragukan lagu, Anda telah mencapai tujuan-Mu. Siapa guru Anda, dan siapa yang telah mengajarkan Anda kebahagian yang luar biasa ini?”

Buddha Gautama menjawab, “Saya tidak mempunyai guru. Tidak satupun yang perlu saya muliakan, dan tiada seorang jua Saya harus memandang rendah. Nirvana telah saya peroleh dan saya tidak sama seperti yang lainnya. Saya tenang oleh Saya sendiri sebagaimana engkau lihat sendiri, karena saya telah menguasai Buddha Dharma. Secara sempurna Saya telah mengerti apa yang harus di mengerti hal itu. Itulah alasan mengapa Saya adalah seorang Buddha.”

Setelah mendengarkan penjelasan itu, pertapa itu pergi, walaupun dia melihat Hyang Buddha dengan penuh keheranan.

1.12. Pertemuan Dengan Lima Orang Pertapa.

Yang Maha Bijaksana tiba dikota Kashi, melihat kota ini menyerupai daerah pedalaman bagaikan suatu bunga rampai. Kota Kashi yang terletak diantara dua sungai, Sungai Bhagirathi dan Varanasi, yang saling bertemu seperti sepasang kekasih yang bersatu. Beliau dengan tubuh gemerlapan yang penuh keagungan, bersinar bagaikan sinar matahari, Dia pergi ke Taman Rusa. Taman Rusa ini sering dikunjungi oleh para pertapa besar. Diwaktu malam terdengar jelas gemerisik suara pohon-pohon dan gema dari bunyi burung-burung elang malam ditaman tersebut.

Yang mendiami taman ini adalah kelima pertapa yang bernama yang bernama Ajnata Kaundiya, Mahanaman, Vaspha, Asvajit, dan Bhadrajit. Ketika mereka melihat Dia dari kejauhan, mereka berkata satu sama lainnya, “Itulah teman kita yang dulu simpatik dan baik, pertapa Gautama, yang menyerah atas kekerasan. Bila dia datang kepada kita, sudah tentu jangan menemuinya. Jelas dia tidak berharga untuk disalami. Orang-orang yang telah melanggar janjinya tidak patut mendapat hormat.” “Sudah pasti, jika dia ingin berbicara dengan kita, marilah kita dengan segala cara jangan menghiraukan dia. Bagi orang suci tidaklah perlu menghargai para pengunjung, siapapun mereka yang tidak taat pada disiplin.”

Para pertapa itu, ketika Hyang Buddha datang menghampiri mereka dengan segera membatalkan rencana semula. Semakin dekat Dia datang, semakin lemah niat mereka untuk menghindar. Salah satu mengambil jubahnya, yang lain datang yang lain dengan tangan melipat mengeluarkan mangkuk-untuk-meminta-minta, yang ketika menawarkan tempat duduk yang layak, dan yang dua lagi memberikan air untuk mencuci kaki-Nya.

Dengan sikap hormat yang bermacam-macam ini, mereka memperlakukan Dia sebagai guru mereka. Tapi mereka dengan tiada henti-hentinya memanggil Dia dengan nama keluarganya, sebab kelima pertapa itu belum mengetahui bahwa Gautama sekarang ini telah menjadi seorang Buddha.

Gautama memberitahukan bahwa sekarang ini Dia bukan lagi Gautama seperti dulu selagi bersama-sama bertapa, tapi sudah menjadi seorang Buddha. Kelima pertapa itu mengikuti disiplin yang keras saja tidak diindahkan. “Bagaimana mungkin dengan perbuatan dulu itu sekarang Gautama dapat mengerti Kebenaran yang sesungguhnya, “ pikir para pertapa, “apa dasarnya Engkau mengatakan kepada kami bahwa engkau telah melihat Kebenaran?” tanya para pertapa itu.

1.13. Memutar Roda Dharma.

Para pertapa itu tidak mempercayai Kebenaran yang ditemukan oleh Tathagata. Karena Jalan untuk Penerangan yang ditemukan Dia adalah berbeda dari mereka dengan cara latihan kekerasan. Buddha Gautama mengurai secara terinci kepada mereka jalan itu. Jalan itu adalah pengetahuan yang ditemukan dan dialami langsung oleh Dia. Sedangkan ‘orang bodoh hanya menyiksa diri mereka sendiri, dan mereka hanya melekat pada pengendalian perasaan’. Kedua cara ini harus dianggap keliru, sebab cara mereka bukanlah menuju pada jalan yang kekal. Inilah yang dinamakan jalan kekerasan yang membingungkan pikiran sebab lebih dikuasai oleh keletihan tubuh.

Jadilah mereka kehilangan kemampuan untuk dapat mengerti risalah doktrin. Mereka masih banyak kekurangannya. Apakah mereka bersedia mengubah cara mereka hanya dengan penekanan hawa nafsu menuju Ketenangan? Dia telah meninggalkan kedua cara yang ekstrim itu, dan telah menemukan Jalan lain, yaitu Jalan Tengah.

Jalan tengah itu menuju ketentraman dari segala Penderitaan, lagipula Jalan Tengah Itu bebas dari segala Kebahagiaan dan Kesenangan. Hyang Buddha kemudian menguraikan dengan terinci kepada kelima pertapa itu Empat Kesunyataan Mulia’ (Catvari Arya Satyani) dan Delapan Jalan Utama atau Jalan Benar dan Suci sebagai Jalan Tengah (Arya Astangika Marga).
Khotbah Hyang Buddha yang pertama ini di Taman Rusa dikenal dengan nama Pemutaran Roda Dharma (Dharmacakra Pravartana Sutra). Ajnata Kaundiya adalah Bhiksu pertama yang ditahbiskan oleh Hyang Buddha, menyusul keempat temannya.


1.14. Pertemuan Antara Ayah Dengan Anak

Pada suatu hari Hyang Buddha pergi ke Kapilavastu. Dia ingin memberikan Khotbah kepada ayah-Nya tentang Dharma. Beliau juga menunjukkan kemampuan-Nya yang menakjubkan kepada ayah-Nya. Maka hal itu membuat ayah-Nya lebih mantap untuk menerima Dharma. Ayahnya meluapkan kegembiraannya setelah mendengarkan Dharma. Dia melipat tangannya sebagai tanda sebagai tanda hormat dan berkata kepada anaknya, “Bijaksana dan berhasil adalah perbuatan-Mu, dan Engkau telah melepaskan saya dari Penderitaan besar.”

Kesenangan sebagai hadiah dari bumi ini, yang dinikmati oleh kita tiada lain hanyalah duka. Sekarang saya merasa senang mempunyai seorang anak yang berhasil. Engkau benar telah melakukan pekerjaan besar seperti itu. Dan sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk-Mu menyelami perasaan terharu kami, sanak keluarga-Mu yang tercinta, yang telah mencintai-Mu dengan penuh kasih sayang, semua itu telah Engkau tinggalkan.

Demi kepentingan dunia yang penuh penderitaan, Engkau telah menempuh kenyataan yang paling benar, yang tidak ditemukan bahkan oleh para pertapa di masa lampau baik oleh para dewa maupun raja.

Jadi Engkau telah memilih jalan untuk menjadi Kepala Alam Semesta, sebagaimana Engkau telah memberikan kepada saya kesenangan yang melebihi segala sesuatu yang pernah saya rasakan, dan dengan menyaksikan kemampuan-Mu yang menakjubkan dan mengenai Dharma-Mu yang suci. “

Ayah-nya melanjutkan ucapannya, “Engkau telah menaklukan penderitaan besar bagi dunia Samsara. Engkau telah menjadi seorang Maha Bijaksana yang telah memproklamirkan dharma demi kebahagiaan dunia. Kemampuan-Mu yang Menakjubkan, intelektual-Mu yang cemerlang, Pelarian diri yang pasti dari bahaya yang tidak terhitung miliknya dunia Samsara. Hal-hal seperti ini telah membuat Engkau menjadi raja yang berdaulat atas dunia, sekalipun tanpa lencana kerajaan.”


1.15. Perjalanan Lebih Lanjut

Sesudah itu Hyang Buddha melanjutkan perjalanan pergi mengunjungi Shravasti. Beliau menunjukkan kemampuan-Nya yang menakjubkan kepada rakyat Shravasti dan menyangkal ajaran-ajaran setempat yang tidak benar. Shravasti memberikan penghormatan besar dan memuja Dia. Hal ini mengingatkan Raja Prasenajit dan menghadiahkan Dia sebuah hutan kecil Jetavana untuk tempat istirahat dan memberikan Khotbah kepada rakyat.

Kemudian Beliau berpisah dengan rakyat Shravasti berhubung Beliau ingin pergi berKhotbah ke tempat lain, yakni ke langit tingkat ke-33, di mana ibu-Nya tinggal.

Dia berjalan tegak dengan penuh keagungan yang mulia dan menakjubkan bagi siapa saja yang melihat-Nya. Dia pergi ke langit untuk menemui ibu-Nya dengan maksud memberikan Khotbah Dharma demi kebaikan ibu-Nya. Pada saat menjelang keberangkatan-Nya, pada raja bumi membungkuk rendah dan muka mereka menengadah ke langit sebagai tanda hormat melepas keberangkatan Beliau. Dengan kemampuan yang dimiliki-Nya, sebentar saja Beliau sudah sampai ke langit tempat tinggal para dewa.

Dalam perjalanan-Nya menuju ke langit tingkat Ke 33, Beliau telah melewati musim hujan di langit, dan menerima derma dari raja dewa yang tinggal di alam non-materi. Sesudah melewati dunia dewa, Dia meneruskan perjalanan-Nya dan pergi ke bawah ke wilayah Samkashya. Para dewa di wilayah ini, setelah menerima kehadiran-Nya , masing-masing memperoleh pendalaman ketenangan dan kemajuan spiritual yang lebih tinggi lagi. Ketika Beliau hendak meninggalkan mereka, para dewa berdiri di depan rumah besar mereka untuk memberikan hormat sebagai tanda ucapan terima kasih. Mata mereka terus mengikuti keberangkatan-Nya sampai Beliau menghilang.

Setelah Beliau sampai di langit K-33 – tempat tinggal ibu-Nya – Buddha Gautama memberikan petunjuk dan Khotbah kepada ibu-Nya dan juga para dewa sekalian yang berada di sana. Yang Maha Bijaksana meluruskan jalan mereka dan semua juga telah siap untuk mendengarkan Khotbah dan petunjuk-Nya karena mereka semua menaruh kepercayaan terhadap Buddha Dharma.
Ibu-Nya – setelah mendengarkan Khotbah-Nya – juga mencapai tingkat Arahat. Setelah selesai memberikan Khotbah dan petunjuk, Beliau kembali lagi ke Bumi.


1.16. Penyebaran Buddha Dharma

Buddha Gautama semasa hidup-Nya selama empat puluh lima tahun terus-menerus menyebarkan Buddha Dharma ke berbagai negeri. Beliau telah pergi menyebar Dharma sampai ke tengah-tengah lembah Sungai Gangga bagian Utara-Timur India, Benares,Uruvela, Rajagraha, Veasali, Sravasti, Kosambi, dan Kapilavastu.

Murid ke enam Buddha Gautama bernama Yasa, anak dari keluarga kaya. Yasa menjadi murid Hyang Buddha karena merasa jijik melihat kesenangan duniawi yang penuh kepalsuan dan kekotoran batin.

Ayah dan ibunya juga menjadi Upasaka dan upasika. Teman-temannya sebanya 54 orang juga menjadi murid Hyang Buddha. Jumlah semua Bhiksu menjadi 60 orang. Semuanya anggota Sangha dan mencapai Arahat (Ariya Sangha). Upasaka dan Upasika yang telah mencapai tingkat Arahat disebut Ariya Punggala. Bhiksu yang anggota Sangha yang belum mencapai tingkat Arahat di sebutSamsuri Sangha. Sangha untuk pertama kali dibentuk oleh Hyang Buddha beranggotakan lima orang yaitu murid-muridnya kelima pertapa itu. Hyang Buddha untuk pertama kali di Taman Rusa (Isipatana) kepada siswa-Nya (60 orang Arahat) anggota sangha mengucapkan Saranataya atau Tisaranagamana Upasampada yang berarti perlindungan ke pada Buddha, Dharma, dan Sangha.

60 bhiksu itu juga menyebarkan Buddha Dharma secara sendiri-sendiri ke berbagai negeri. Karena tiap-tiap negeri di Jambudvipa atau India kaya dengan bahasa-bahasa, maka Hyang Buddha mengijinkan murid-murid-Nya dalam membabarkan Dharma boleh memakai bahasa setempat agar dapat dimengerti oleh para pendengar. Hyang Buddha memberikan nasehat kepada mereka, “oh para bhiksu, majulah terus dalam menyebarkan Buddha Dharma demi kebaikan manusia. Siarkanlah Dharma ini untuk kebahagiaan orang banyak.”
Buddha Gautama sendiri juga menyebarkan Buddha Dharma.

Banyak orang yang telah mendengarkan Buddha Dharma yang dibabarkan oleh para siswa Hyang Buddha ingin menjadi bhiksu juga. Para bhiksu itu membawa mereka yang ingin menjadi bhiksu ke Hyang Buddha. Karena setiap kali bila ada yang ingin menjadi bhiksu terlebih dahulu dibawa ke hadapan Hyang Buddha, atas pertimbangan perjalanan yang jauh dari satu negeri dan kemudahan maka Hyang Buddha mengijikan para siswanya untuk mentahbiskan calon bhiksu dengan syarat mengucapkan Saranataya atau mengulangi Tisarana yaitu Tisaranagamana Upasampada, calon bhiksu harus mencukur rambut, jenggot, kumis, memakai jubah (warna kuning atau coklat), berlutut dan bersikap anjali.

Ada tiga macam Bhiksu, yaitu :
1. Ehi Bhikku yang ditabiskan oleh Hyang Buddha
2. Tisarana Gamana Bhikku yang ditahbiskan oleh siswa Hyang Buddha ( 60 orang Arahat itu).
3. Naticatutthakamma Bhikku yang di tahbiskan melalui sangha (saat setelah Hyang Buddha dan siswanya tidak memberikan pentahbisan lagi.

Untuk keperluan pentahbisan Sangha haruslah 5 orang bhiksu dan semuanya Sthavira atau thera (10 Vasa). Satu stel jubah Bhiksu terdiri dari: satu potong jubah dalam (Ancera rasaka civara), satu potong jubah luar (Uttarasanga Civara), Satu potong jubah atas (sanghari Civara).

Buddha Gautama banyak mendapat dukungan antara lain Raja Bimbisara dari kerajaan Bimbisara (ada juga yang menyebutnya kerajaan Magadha), kerajaan yang pertama kali dikunjungi Beliau. Setelah mendengar Khotbah Hyang Buddha, Raja Bimbisara mempersembahkan Arama Hutan Bambu (Veluvana Rama) bagian selatan Jambudvipa atau India kepada Hyang Buddha dan Sangha untuk tempat istirahat dan sebagai tempat berKhotbah.

Anak Raja Bimbisara bernama Ajatasattu mula-mula menyokong Buddha Gautama, namum kemudian terkena pengaruh dan berkelompot dengan Devadatta. Delapan tahun sebelum parinirvana Hyang Buddha, mereka mencoba membunuh Buddha Gautama, namun semua rencana mereka tidak berhasil.

Penyokong lainnya ialah Raja Kosala dari Visakha, dan hartawan Anathapindika. Karena kemurahan hatinya Anathapindika diingat sebagai kepala dermawan juga dikenal dengan nama Sudatta. Anathapindika memberi hutan Jetavana dekat savatthi dan mendirikan vihara bagi para bhiksu. Anathapindika selama hidupnya sangat menyokong dan mengorbankan harta bendanya untuk perkembangan Agama Buddha.

Dalam tahun itu juga setelah Beliau mencapai Penerangan, Buddha Gautama kembali ke Kapilavastu, disamping memberikan Khotbah kepada rakyat Kapilavastu, dan ayah-Nya, Suddhodana, yang kemudian hari menjadi Arahat dan masuk ke surga Sotapanna. Setelah hari ke-7 Hyang Buddha berada di Kapilavastu, di saat Beliau sedang makan siang, Putri Yasodhara mengajak putranya Rahula melihat dari jendela ke arah Buddha Gautama. Putri Yasodhara menanyakan kepada Rahula, siapakah Dia yang sedang makan? Rahula menjawab bahwa Dia yang sedang makan adalah Hyang Buddha. Mendengar jawaban putranya, putri Yasodhara sangat sedih sampai meneteskan airmata dan berkata. “Beliau adalah Buddha, dan juga ayah kandungmu. Dia rela meninggalkan segala harta benda, kemewahan, kesenangan duniawi, kekuasaan, pangkat, ketenaran, meninggalkan istana, dan sekarang menjadi Buddha. Dia telah memperoleh harta abadi melebihi segala harta benda yang ditinggalkan.”

Pangeran Rahula yang pada saat itu berusia 7 tahun datang menghadap Buddha Gautama dengan sapa hormat dan sopan santun. Hyang Buddha Menasehatkan kepada Rahula bahwa segala harta benda yang telah ditinggalkan tidak lebih bernilai dan abadi daripada harta yang telah diperoleh-Nya sekarang yakni Dharma – Penerangan Sempurna. Rahula lalu ditahbiskan menjadi Samanera atau Calon bhiksu. Melihat kejadian ini putri Yasodhara mula-mula merasa sedih karena suaminya, Pangeran Sidharta, menolak menjadi raja. Sejak saat itu, bagi yang masih dibawah umur bila hendak ditahbiskan menjadi samanera haruslah mendapat persetujuan dan ijin dari orang tua calon samanera itu. Rahula kemudian menjadi bhiksu dan mencapai Arahat. Juga putri Yasodhara kemudian menjadi Bhiksuni dan mencapai Arahat.

Hyang Buddha juga memberikan Khotbah kepada rakyat Kapilavastu sehingga banyak rakyat menjadi Upasaka dan Upasika. Beliau menjelaskan kepada para siswa-Nya dalam kehidupan sehari-hari, selalu menjunjung tinggi Buddha Dharma dan mengajarkan kepada orang lain, semua itu merupakan penghormatan yang tertinggi kepada-Nya, Buddha Gautama.


1.17. Devadatta.

Devadatta, saudara sepupu-Nya, juga seorang anggota Sangha, tapi ia memiliki sifat dengki dan sombong. Melihat kebesaran dan keberhasilan-Nya, hati Devadatta sangat terluka dan timbul niat buruk untuk mencelakakan Buddha Gautama.

Devadatta juga membuat perpecahaan dalam Sangha, juga berani berbuat hal-hal yang tercela.

Pada suatu hari, dia mengetahui Hyang Buddha Gautama akan melewati jalan yang berada dibawah puncak Burung Bering. Devadatta lantas menjatuhkan sebuah batu gunung besar dari puncak itu dengan maksud agar batu gunung itu menimpa Yang Maha Bijaksana. Tapi batu gunung itu tidak mengenai dan melukai Dia, batu itu pecah menjadi dua dan jatuh ke arah lain sebelum menimpa Dia.

Devadatta mengulangi lagi rencana jahatnya dengan cara melepaskan seekor gajah liar pada jalan utama yang dilalui raja, dimana jalan ini akan dilalui oleh Maha Bijaksana. Gajah liar berlari-lari dengan kencang ke arah Dia, dengan suara mendengus kencang bagaikan guntur yang akan membelah bumi, bagaikan angin kencang di angkasa di malam gelap gulita.

Orang-orang yang mengetahui rencana jahat Devadatta, semua mengucurkan air mata dan banyak orang berusaha untuk menghalangi gajah itu tapi tidak berhasil. Yang Maha Bijaksana diberitahukan akan bahaya, tapi Yang Maha Bijaksana terus berjalan dengan tenang dan tanpa ada rasa takut. Karena Dia memang punya perasaan prihatin dan sayang terhadap semua makhluk hidup, para Dewa dan Dewi, para Bodhisattva dan Buddha juga turut melindungi-Nya.

Para bhiksu yang mengikuti Buddha Gautama telah lari tunggang-langgang karena ketakutan, hanya tinggal Ananda sendiri yang mendampingi Dia. Buddha Gautama tetap tenang dan terus berjalan. Gajah itu berlari-lari dengan kencang ke arah Hyang Buddha untuk menubruk-Nya. Tapi sebelum gajah itu datang mendekat, Yang Maha Bijaksana dengan kekuatan Spiritual-Nya dapat membujuk gajah besar liar itu jinak, dan tidak menyentuh sedikit juga tubuh Hyang Buddha. Gajah besar liar itu menundukkan kepalanya dan menjatuhkan badannya ke tanah di hadapan Hyang Buddha dengan menimbulkan suara yang gemuruh. Yang Maha Bijaksana dengan penuh kasih sayang, dengan kelembutan tangan-Nya mengusap-usap kepala gajah besar liar itu.

Devadatta setelah menyaksikan kejadian tersebut, menjadikan dia lebih dengki, kejam, dan jahat. Akhirnya atas perbuatannya sendiri telah mengakibatkan karma buruk, setelah meninggal dunia dia jatuh ke alam neraka.


1.18. Maha Prajjapati dan Pangeran Nanda

Maha Prajjapati adalah bibi Buddha Gautama, yang mengasuh-Nya di waktu masih kecil (Pangeran Sidharta), kemudian menjadi permaisuri kedua dari Raja Suddhodana. Dia mempunyai seorang putra bernama Nanda. Karena Pangeran Sidharta tidak ingin menjadi raja yang sekarang telah menjadi Buddha Gautama. Juga Rahula akhirnya menjadi bhiksu dan mencapai Arahat. Pangeran Nanda yang kelak akan menggantikan Raja Suddhodana, mempunyai istri yang cantik bernama Sundari. Pangeran Nanda hidupnya hanya bersenang-senang dengan istrinya, tidak memikirkan masa depan kerajaan Kapilavastu.

Ketika Buddha Gautama di Kapilavastu mengetahui segala tindakannya, Dia Menasehati Pangeran Nanda dan memberikan Khotbah kepadanya. Siapapun kelak akan menjadi Raja Kapilavastu walaupun bukan keturunan raja, asalkan dia cakap dan bijaksana serta memperhatikan rakyatnya, dapat memerintah secara adil dan bijak, dia boleh saja menjadi raja. Akhirnya Pangeran Nanda meninggalkan istana dan menjadi bhiksu. Sariputra yang mencukur rambut Nanda ketika ia akan menjadi bhiksu.

Akhirnya Maha Prajjapati juga menjadi bhiksuni. Ananda dalam hal ini juga sangat mendukung dibentuknya Sangha Bhiksuni.


1.19. Sariputra dan Maudgalyayana

Sebelum menjadi siswa Hyang Buddha, Sariputra bernama Upatisya. Dia dari keluarga Brahmana dan tinggal di kota Rajagrha. Teman baiknya bernama kolita, yang kemudian juga menjadi siswa Buddha Gautama dan bernama Maudgalyayana.

Sariputra terkenal karena pandai bicara dan sangat bijaksana. Ibunya seorang pendiam. Ketika mengandung Sariputra, ibunya menjadi sangat pandai bicara dan dalam hal-hal tertentu menjadi lebih bijaksana. Maudgalyayana dikenal karena pandai dan memiliki kekuatan gaib.

Sebelum mereka berdua menjadi murid Hyang Buddha, Sariputra dan Maudgalyayana berguru kepada sanjaya. Sanjaya adalah seorang guru dari golongan Tirtyas yang mempunyai dua ratus lima puluh orang murid.

Sariputra, Maudgalyayana beserta dua ratus lima puluh temannya itu akhirnya menjadi murid Buddha Gautama. Mereka menjadi murid Hyang Buddha karena mendengar Khotbah bhiksu Ashvajit, dia lalu membawa mereka bertemu dengan gurunya, Buddha Gautama.

Maudgalyayana pada suatu hari ketika sedang ber-meditasi, merasa ngantuk. Kebetulan Buddha Gautama ada disekitarnya. Melihat dia mengantuk, Buddha Gautama datang menghampirinya dan dengan penuh kasih sayang berbicara lembut kepada Maudgalyayana. Supaya dia tidak merasa ngatuk dan dapat ber-meditasi dengan baik, Beliau berkata kepada Maudgalyayana,

“Engkau harus selalu ingat bahwa seorang bhiksu bila diminta oleh umatnya untuk datang ke rumah mereka sudah tentu karena ingin memerlukan bantuanmu. Dirumah umat awam, engkau sebagai seorang bhiksu tidak boleh merasa harus di hormati dan harus dilayani secara berlebihan. Sebab mungkin disebabkan di rumah ada hal yang sangat penting untuk diselesaikan terlebih dahulu, sehingga engkau agak diabaikan.

Maudgalyayana, engkau jangan seketika berperasaan tidak dihormati juga atau mereka mendadak berubah sikap terhadapmu. Jika demikian halnya ada dalam perasaan dan pikiranmu dan ketenanganmu, dan bila terus teringat maka engkau tidak akan dapat menjalankan meditasi-mu dengan baik.

Demikian juga engkau tidak boleh mengucapkan perkataan yang dapat menimbulkan pertengkaran, juga tidak boleh berusaha mencari kesalahan orang lain. Jika engkau, Maudgalyayana, melakukan hal-hal yang demikian maka engkau akan terganggu ketenanganmu sehingga engkau tidak dapat memusatkan pikiranmu untuk dapat bermeditasi dengan baik.”


1.20. Tiga Saudara Kasyapa.

Di Uruvela, sebelah hulu sungai Nairanjana, berdiam seorang guru pemuja api bernama Uruvela Kasyapa yang mempunyai lima ratus orang sebagai pengikutnya. Dia merupakan kakak tertua di antara tiga orang saudaranya. Mereka berdua juga pemuja api. Adiknya yang pertama bernama Nadi Kasyapa mempunyai tiga ratus orang pengikut yang tinggal di hilir sungai Nairanjana. Adik Uruvela Kasyapa yang kedua bernama Gaya Kasyapa mempunyai dua ratus orang pengikut, dan bertempat tinggal lebih hilir dari kakaknya Nadi Kasyapa.

Suatu ketika Buddha Gautama datang ke Uruvela mengunjungi Kasyapa dengan maksud untuk memberikan petunjuk dan mengajarkan Buddha Dharma kepadanya agar ia dapat kembali ke jalan yang benar dalam mencari ilmu. Buddha Gautama minta kepada Uruvela Kasyapa untuk menginap di rumahnya. Permintaan-Nya dikabulkan, tapi Uruvela Kasyapa menjelaskan bahwa di pondoknya terdapat seekor ular kobra besar dan ganas menjaga api sucinya. “Asalkan Engkau tidak takut tinggal di pondok saya itu, saya tidak keberatan,” ujar Uruvela Kasyapa.

Buddha Gautama menginap di pondoknya, beliau tidak tidur melainkan ber-meditasi dikamar yang dimaksudkan Uruvela Kasyapa. Pada tengah malam, betul saja seekor ular kobra besar muncul dan mendekati-Nya dengan suara mendesis dan dari mulut ular itu menyemburkan hawa beracun dan bergerak hendak menggigit-Nya.

Buddha Gautama sedikit pun tidak bergeming, dalam meditasi-Nya dengan kekuatan spiritual dan mengembangkan rasa maitri karuna terhadap semua makhluk hidup, cahaya welas asih memancar dari tubuh-Nya hingga segala macam kejahatan dan benda atau hawa beracun tidak mampu menembus cahaya maitri karuna dan prajna-Nya.
Pada keesokan paginya, Uruvela Kasyapa datang kekamar Beliau, dikira Buddha Gautama sudah mati digigit ular kobranya. Namun dia melihat Hyang Buddha sedang ber-meditasi dengan tenang. Dia bertanya apakah Beliau tidak melihat ular kobra yang dimaksudkan itu. Hyang Buddha menjawab bahwa tidak ada ular kobra. Kemudian Hyang Buddha menjelaskan kepada Uruvela Kasyapa tentang Buddha Dharma.

Pada hari berikutnya, ada upacara sembahyang pemujaan api. Tapi Buddha Gautama tidak hadir menyaksikan upacara tersebut. Ketika Uruvela menanyakan kepada Beliau mengapa tidak turut hadir dalam upacara itu, Hyang Buddha menjawab, “Bukankah engkau tidak menginginkan Saya ikut hadir.”
Uruvela Kasyapa sangat terkejut mendengar jawaban Hyang Buddha yang telah mengetahui isi hatinya.

Beberapa hari berikutnya, turunlah hujan lebat. Ini kali Hyang Buddha menunjukkan tanda-tanda gaib spiritual-Nya. Hyang Buddha berjalan keluar. Anehnya hujan tidak membasahi-Nya dan jalanan yang akan dilewati-Nya menjadi kering seolah-olah tidak turun hujan. Melihat kemampuan Hyang Buddha, Uruvela menjadi kagum dan hormat kepada-Nya.

Setelah mendengar lagi Khotbah Hyang Buddha tentang Buddha Dharma, akhirnya Uruvela Kasyapa dan kedua adiknya serta para pengikut mereka menjadi siswa Hyang Buddha. Uruvela Kasyapa juga dikenal dengan nama Maha Kasyapa.


1.21. Ananda

Buddha Gautama ketika mengunjungi Kapilavastu, telah beberapa kali memberikan Khotbah Buddha Dharma baik kepada raja, pangeran, bangsawan kerajaan Kapilavastu. Beliau juga memberikan Khotbah Dharma kepada penduduk suku Shakya. Mereka yang telah mendengar Khotbah Dharma dari Hyang Buddha di hati dan batin mereka tumbuh ke-Bodhi-an untuk menjadi siswa Buddha dan banyak yang menjadi bhiksu. Diantara pangeran yang menjadi bhiksu adalah Pangeran Devadatta, Pangeran Anuruddha, Pangeran Vibhasa, Bhadrika, Pangeran Ananda.
Ananda dikenal sangat pandai yang mempunyai ingatan luar biasa. Dia juga yang paling setia dan senantiasa mendampingi Buddha Gautama selama 27 tahun. Ananda memcapai tingkat Arahat pada saat akan menjelang pagi dimana akan diadakan Pertemuan Agung I tidak lama setelah Mahaparinirvana Hyang Buddha. Ananda mengulangi semua Khotbah Hyang Buddha yang pernah didengar langsung olehnya dengan mengucapkan ‘Evam Maya Sutram’ artinya’Demikianlah telah aku dengar’ (aku di sini dimaksudkan adalah Ananda). Maka semua sutra pembukaannya dimulai dengan kalimat tersebut.

Ananda berjasa dalam memberikan dorongan berdirinya Sangha Bhiksuni, dimana Maha Prajjapati di tahbiskan menjadi bhiksuni. Pada hari dia ditahbis menjadi bhiksuni merupakan hari berdirinya Sangha bhiksuni. Atas permintaan Hyang Buddha kepada Ananda untuk merancang jubah Sangha, Ananda mengambil contoh petak-petak sawah di negeri Magadha yaitu kotak-kotak yang ada pada jubah Sangha.

Pada saat akhir sebelum Ananda meninggal, beliau pergi ke tepi sungai Rohini, memberikan Khotbah Dharma terakhir kepada sanak keluarganya dan para umat awam di sana. Setelah itu beliau pergi menuju sungai Rohini, dari tubuhnya keluar api suci membakar dirinya sendiri dan meninggal. Ananda meninggal dalam usia 120 tahun dan juga mencapai tingkat Arahat.


1.22. Upali

Upali adalah berasal dari Kasta Sudra. Sejak kecil ia telah bekerja dalam lingkungan kerajaan Kapilavastu, mengabdi kepada Pangeran Bhadrika. Setelah memutuskan untuk menjadi siswa Hyang Buddha, sebelum bertemu dengan Beliau, Pangeran Bhadrika meminta rambutnya dicukur bersih oleh Upali. Upali telah mengenal Hyang Buddha ketika Beliau memberikan Khotbah di istana Kapilavastu, yang pada saat itu didampingi oleh Sariputra.

Upali tidak berani menyatakan niatnya langsung kepada Hyang Buddha untuk menjadi siswa-Nya, karena ia merasa dari Kasta Sudra. Setelah bertemu dengan Sariputra, Upali menjelaskan maksudnya dan menanyakan apakah dia dari Kasta Sudra boleh menjadi murid Hyang Buddha. Dijelaskan Sariputra ‘boleh’ Hyang Buddha tidak pernah membedakan kasta dan memandang beda terhadap semua makhluk. Sewaktu Beliau masih menjadi Bodhisattva, Beliau sudah tidak membeda-bedakan derajat manusia. Dengan mengikuti Sariputra, Upali diperkenalkan langsung kepada Hyang Buddha.

Hyang Buddha menjelaskan kepada Upali bahwa dia mempunyai bakat sejak lahir memiliki kebajikan, dan kelak pasti dapat membantu Beliau menyebarkan Buddha Dharma. Kemudian Upali langsung ditahbiskan menjadi bhiksu.


1.23. Subhadra

Subhadra menjadi siswa Hyang Buddha dan ditahbiskan menjadi bhiksu pada saat beliau memberikan Khotbah Dharma yang terakhir.

source: http://owalah.wordpress.com/2007/01/...uddha-gautama/

Tidak ada komentar: