Kamis, 21 Juni 2007

Sang Brahmin yang Menjaga Sila

Demikian yang telah saya dengar pada suatu
ketika: Buddha berdiam di kota Sravasti, biara
Jetavana di Taman Anathapindika. Pada suatu ketika
tepat pada saat malam tiba, dua orang dewa datang
kepada Buddha. Tubuh mereka bersinar menerangi seluruh
taman dengan cahaya emas. Ketika Buddha mengajar
tentang hukum kesunyataan kepada mereka, batin mereka
terbebaskan dan mendapatkan buah pencerahan. Lalu
mereka menundukkan kepala mereka di kaki Buddha dan
kembali ke alam dewa.

Pada petang hari Ananda berkata kepada Buddha:
"Bhagava, kemarin malam dua orang dewa datang dan
menghormat kepada Buddha dan cahaya mereka menerangi
taman itu dengan indahnya. Perbuatan bajik apakah yang
pernah kedua dewa itu perbuat sehingga hal ini dapat
terjadi?"
Buddha berkata kepada Ananda: "Pada kelahiran
sebelumnya ketika Buddha Kasyapa telah mencapai
Nirvana dan ketika ajaran Dhamma hampir punah, kedua
Brahmin mengambil sumpah delapan sila2. Seorang Brahma
ini mengambil sumpah ini dengan tujuan agar dapat
terlahir di alam dewa, yang lainnya dengan tujuan agar
terlahir sebagai raja. Pada suatu ketika, seorang
wanita mempersembahkan makan malam kepada salah
seorang dari seorang Brahmin, Brahmin itu berkata:
'Saya telah mengambil sila untuk tidak makan pada
malam hari.' Wanita itu menjawab: 'Engkau adalah
seorang pendeta Brahmin! Kita mempunyai sumpah-sumpah
agama kita tersendiri. Lalu mengapa Engkau mengambil
sumpah-sumpah dari guru yang lain? Jika kamu menolak
untuk bersantap bersama saya, saya akan melaporkan apa
yang telah engkau katakan kepada brahmin yang lainnya
dan mereka akan menolak untuk melakukan segala hal
bersamamu.' Mendengar ini, Brahmin itu menjadi takut
dan menyantap makanan itu.
"Ketika tiba saatnya brahmin-brahmin itu meninggal,
masing-masing dari Brahmin terlahir ke alamnya
masing-masing. Dia yang menjaga silanya dengan tujuan
lahir kembali menjadi raja, terlahir sebagai seorang
raja. Tapi dia yang telah mengambil sumpah untuk lahir
sebagai seorang dewa, terlahir sebagai seekor naga
karena melanggar silanya."
"Pada saat itu ada seorang tukang kebun yang menjaga
kebun buah-buahan sang raja dan mengantarkan buah dan
sayur-sayuran ke istana. Pada suatu ketika, dia
menemukan sebuah apel yang harum di musim semi dan
berpikir: 'Saya harus lari kesana kemari dengan buah
dengan sayur-sayuran dan selalu mempunyai masalah
dengan penjaga gerbang, saya akan memberikan apel ini
kepadanya. 'Penjaga gerbang itu mengambil apel dan
berpikir: 'Saya harus pergi kesana kemari sesuai
perintah dan selalu mempunyai masalah dengan penjaga
gerbang bagian dalam.' Penjaga gerbang bagian dalam
itu memberi apelnya kepada istrinya yang selanjutnya
memberikannya kepada raja. Ketika raja makan apel itu,
dia menemukan apel itu lebih nikmat dan harum daripada
apel-apel yang pernah dia makan, dan setelah
mengetahui darimana asalnya, raja memerintahkan tukang
kebun itu menghadapnya. Sang raja berkata: 'Karena
buah yang nikmat ini tumbuh di kebun saya sendiri,
saya ingin mengetahui mengapa apel itu diberikan
kepada orang lain dan bukan kepada saya.' Tukang kebun
itu menjelaskan apa yang terjadi, tapi sang raja
memerintahkan: 'Di lain waktu, bawakanlah hanya
apel-apel yang istimewa seperti ini.' Tukang kebun itu
menjadi takut dan berkata kepada raja: 'Tapi Yang
Mulia, tidak ada lagi apel-apel yang seperti ini di
kebun-mu. Saya menemukannya pada musim semi dan tidak
menemukannya lagi.' Sang raja berkata: 'Jika kamu
tidak dapat membawakannya lagi saya akan mencincang
tubuhmu!'
"Dengan sangat ketakutan lelaki itu pulang ke rumah,
duduk, dan mulai meratap dengan sedihnya. Seekor naga
mendengarnya dan menjelma menjadi seorang lelaki,
mendekati tukang kebun dan menanyakan apa sebab
kesediahan dan ratapannya. Ketika tukang kebun
menjelaskan apa yang telah terjadi, sang naga
menghilang dan kembali beberapa menit kemudian dengan
nampan emas berisi buah yang diberikan kepada tukang
kebun itu dan berkata: 'Bawa buah-buah ini kepada sang
raja. Berikan kepadanya dan sampaikan pesan saya:
'Yang Mulia, engkau dan saya memiliki hubungan. Pada
kehidupan sebelumnya, kita adalah brahmin yang
mengambil sumpah 8 sila Uposatha Mahayana, dengan
tujuannya masing-masing. Karena Engkau, Yang Mulia,
menjaga sumpahmu, engkau dilahirkan sebagai seorang
raja. Saya tidak dapat menjaga silaku, sehingga
terlahir sebagai seekor naga. Sekarang saya ingin
mempraktikan sumpah itu agar bisa meninggalkan tubuh
naga ini. Carilah ritual sumpah itu dan berikan
kepadaku. Jika kamu tidak melakukannya, saya akan
membuat tanahmu dibanjiri oleh lautan.'
"Tukang kebun itu segera mengambil buah itu dan
menghadap sang raja serta menyampaikan pesan sang
naga. Sang raja menjadi ketakutan dan berkata: 'Pada
saat ini tidak ada Buddha yang menetap di dunia ini
dan hukum kesunyataan sudah hampir punah. Dimanakah
bisa saya bisa mendapatkan ritual dari delapan sila
itu? Jika saya tidak mendapatkannya, lautan akan
sangat mungkin membanjiri tanahku. 'Dengan rasa amat
gelisah dia memanggil perdana menterinya dan berkata:
'Oh menteriku seekor naga telah memerintahkan saya
untuk mencari naskah yang bernama ritual delapan sila
harian. Coba carikan itu untukku. 'Sang menteri
menjawab: 'Karena ajaran Dharma sudah tidak ada lagi
di dunia, kemana seharusnya saya mencarinya?' Sang
raja berkata kepada menterinya jika dia tidak dapat
menemukan sila itu, dia akan dieksekusi.
"Dengan sangat ketakutan, sang menteri pulang ke
rumahnya dan duduk dalam keadaan putus asa. Menteri
ini memiliki seorang ayah yang sudah berumur yang
melihat anaknya sambil berpikir: 'Biasanya anak saya
selalu ceria tetapi hari ini mukanya sangat sedih dan
bermasalah. Saya ingin tahu apa yang menjadi
masalahnya?' Ketika dia bertanya, sang menteri
menceritakan tentang perintah sang raja. Orang tua itu
berkata: 'Anakku, di rumah kita terdapat sebuah pilar
yang selalu memancarkan cahaya. Pergi dan lihatlah apa
yang ada di dalamnya.' Ketika sang menteri membongkar
pilar itu dia menemukan sutra dari dua belas rantai
sebab akibat yang saling berhubungan dan naskah yang
berjudul ritual delapan sila harian didalamnya. Dengan
sangat bahagia, dia membawa kedua naskah itu kepada
raja, dan raja meletakkannya dalam sebuah peti emas
dan mengantarkan kepada sang naga. Ketika sang naga
menerima ini, dia sangat bahagia dan mempersembahkan
perhiasan yang berlimpah kepada sang raja. Sang naga
selanjutnya mengambil sumpah delapan sila dan
menyebabkan yang lainnya mempraktikkannya. Ketika dia
meninggal dia terlahir sebagai devaputra. Karena sang
raja mempraktikkan sila-sila ini sesuai Dharma, dia
juga dilahirkan di alam dewa bersama dengan sang naga.
"Ananda, dua devaputra yang mengunjungi saya pada
malam hari kemarin dan kepadanya saya menjelaskan
Dharma, dan mencapai buah pemenang arus3 dan telah
bebas dari tiga alam rendah. Mereka sekarang menikmati
kehidupan yang menyenangkan dan akhirnya saya akan
mengantarkan mereka ke Nirvana."
Setelah Buddha berkata demikian, yang berkumpul
percaya dan berbahagia.

Sumber:
Sutra of the Wise and the Foolish [mdo mdzangs blun]
atau Ocean of Narratives [uliger-un dalai]

penerbit:
Library of Tibetan Works & Archieves

Alih Bahasa Mongolia ke Inggris:
Stanley Frye

Alih Bahasa Inggris ke Indonesia:
Heni [Mhsi Universitas Indonesia]

Editor:
Junaidi
Kadam Choeling Bandung

Tidak ada komentar: